Hak Cipta, Saatnya Masyarakat Melek Karya

Kita sering ribut soal harga buku. “Mahal!” begitu keluhan yang sering terdengar. Padahal, jika mau jujur, harga buku jauh lebih murah dibanding nilai ilmu di dalamnya. Bayangkan: seorang penulis bisa menghabiskan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk meriset, menulis, dan menyusun gagasannya. Akan tetapi, karya itu sering hanya dihargai setara dua atau tiga cangkir kopi kekinian.

Lebih miris lagi, masih banyak orang merasa biasa saja membeli buku bajakan atau memfotokopi habis-habisan. Alasan klasik lainnya: “Yang penting ilmunya sampai.” Padahal setiap buku bajakan adalah bentuk perampasan: penulis kehilangan haknya, penerbit kehilangan napas usahanya, dan pada akhirnya budaya literasi kita mati perlahan. Bagaimana mungkin kita ingin bangsa ini maju, jika kita membiasakan diri merampas hak pencipta ilmu?

Sebagai penerbit, kami berharap masyarakat sebagai penerima manfaat adanya buku yang beredar di pasaran ini dapat turut membangun kesadaran mengapresiasi sebuah karya dengan menolak buku bajakan. Di situlah apresiasi nyata kepada penulis: bahwa karyanya layak dihargai, bahwa pikirannya tidak gratis, bahwa ilmu memang bernilai. Dengan mengapresiasi karya akan menambah semangat para penulis untuk terus menghasilkan karya yang tentunya menambah khazanah literasi dan manfaatnya akan kembali kepada masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian, masyarakat perlu melek bahwa membeli buku asli bukan sekadar soal “punya barang cetakan yang bagus”, tetapi bentuk dukungan agar penulis terus menulis, penerbit terus berani menerbitkan, dan ilmu terus mengalir dengan sehat. Karena sesungguhnya, harga buku itu murah—yang mahal adalah ketidakpedulian kita untuk menghargai karya. (DJ)

Scroll to Top